SINERGIS ANTARA FILSAFAT, AGAMA, DAN ILMU

      Akar kata Filsafat berasal dari bahasa yunani Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kearifan. Dalam kamus Oxford dikatakan filsafat adalah pencarian pengetahuan, hakikat (sifat dasar), dan makna segala sesuatu. Agama adalah kepercayaan kepada ke Tuhanan, acara berbakti ketuhanan, cara berbakti kepada Tuhan: Beragama: Memeluk agama. Sedangkan keagamaan adalah yang berhubungan dengan agama. Ilmu yaitu pengetahuan atau kepandaian baik yang termasuk jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan keadaan alam, dan sebagainya.
      Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Bidang filsafat sangat luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filasafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Oleh karena itu filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu dan pemahaman tentang moral, estetik, dan agama. Para filsuf telah mencari suatu panmdangan tentang hidup secara terpadu, menemukan maknanya serta mencoba memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya.

HUBUNGAN ANTARA FILOSOF DAN ILMU
      Sinergisasi antara ilmu dan filsafat yaitu ada hubungan timbale balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiahapabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangka dan keliru. Ilmu sekarang ini dapat menyediakan bagi folsafat besar bahan yang berupa fakta-fakta yuangsangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafat yang tepat sehingga sejalan sengan pengetahuan ilmiah.
      Pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah filasafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Sehingga ada ilmu-ilmu yang mengatakan filsafat sebagai “induk” ilmu pengetahuan. Karena objek material ilmu filasafat sangat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek material yang khusus hal ini berakibat berpisahnya ilmu dari filsafat. Meskipun dalam perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas diantara masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman manusia yang luas. Ol;eh karena itu filsafat merupakan suatu bagian dari proses pendidikan secara alami dari makhluk yang berfikir.
      Setiap ilmu memiliki konsep-konsep dan asumsi-asimsi yang bagi ilmu itu sendiri tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep dan ilmu itu diterima dengan begitu saja tanpa dinilai dan dikritik. Terhadap ilmu-ilmu khusus, filsafat, khususnya filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep-konsep dasardan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu-ilmuuntuk memperoleh arti dan validitasnya. Kalau konsep-konsep dari ilmu tidak dijelaskan dan asumsi-asumsi tidak dikuatkan maka hasil-hasil yang dicapai lmu tersebut tanpa memperoleh landasan yang kuat.
      Interaksi antara filsafat dan ilmu-ilmu khusus juga maenyangkut suatu tujuan yang lebih jauh dari filsafat. Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus Ke dalam suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang tersatupadukan, komprehensif ndan konsisten. Secara komprehensif artinya tidak ada sesuatu bidang yang berada di luar jangkauan filsafat. Secara konsisten artinya uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi. Misalnya fisika mendasarkan pada asas bahwa semua benda terikat pada kaidah mekanis (sebab-akibat), akan teapi dalam biologi dapat ditemukan bahwa pada organisme yang lebih tinggi tidak hanya berproses seperti mesin-mesin melainkan juga menunjukan adanya kegiatan yang mengarah pada suatu tujuan (teleologis). Masalah teleologis (bertujuan) ini telah ditangani oleh para filsuf yang mencoba menyusun pandangan yang tersatupadukan (integral) dan komprehensif dalam menjelaskan gejala-gejala alam.

FILSAFAT ISLAM
      Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:
  1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
  2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua:
  • (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba.
  • (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
  • i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
  • ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
  • iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
  • iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
  • v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
     3.  Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
      Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
      Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
      Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali. Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat. Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada.
      Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum alam. Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam. Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu:
  1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
  2. Pembangkitan jasmani tak ada
  3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
      Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan. Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya.
      Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang percaya bahwa alam ini qadim. Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?. Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.
      Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf.
      Dalam pada itu sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari. Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak tradisional.
Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal:
  1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis.
  2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya.
      Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis. 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam.
Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan. Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf Islam.





DAFTAR PUSTAKA


Beerling, Kwee dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogjakarta: Tiara Wacana, 2003, (cetakan kelima)
Verhaak, dan Imam, Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Mundiri, Logika, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Widodo, Sembodo Ardi, Kajian Filosofis (Pendidikan Barat dan Islam), Jakarta: Nimas Multima, 2008, (cetakan ketiga)
Behbehani, Soraya Susan, Ada Nabi dalam Diri, Jakarta: Serambi, 2003, (cetakan kedua)

0 komentar:

Posting Komentar

Suara Anda, Menjadi Sepercik Saran Bagi Kami

Powered By Blogger
kangnaim.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 01 Desember 2010

SINERGIS ANTARA FILSAFAT, AGAMA, DAN ILMU

      Akar kata Filsafat berasal dari bahasa yunani Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kearifan. Dalam kamus Oxford dikatakan filsafat adalah pencarian pengetahuan, hakikat (sifat dasar), dan makna segala sesuatu. Agama adalah kepercayaan kepada ke Tuhanan, acara berbakti ketuhanan, cara berbakti kepada Tuhan: Beragama: Memeluk agama. Sedangkan keagamaan adalah yang berhubungan dengan agama. Ilmu yaitu pengetahuan atau kepandaian baik yang termasuk jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan keadaan alam, dan sebagainya.
      Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Bidang filsafat sangat luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filasafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Oleh karena itu filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu dan pemahaman tentang moral, estetik, dan agama. Para filsuf telah mencari suatu panmdangan tentang hidup secara terpadu, menemukan maknanya serta mencoba memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya.

HUBUNGAN ANTARA FILOSOF DAN ILMU
      Sinergisasi antara ilmu dan filsafat yaitu ada hubungan timbale balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiahapabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangka dan keliru. Ilmu sekarang ini dapat menyediakan bagi folsafat besar bahan yang berupa fakta-fakta yuangsangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafat yang tepat sehingga sejalan sengan pengetahuan ilmiah.
      Pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah filasafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Sehingga ada ilmu-ilmu yang mengatakan filsafat sebagai “induk” ilmu pengetahuan. Karena objek material ilmu filasafat sangat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek material yang khusus hal ini berakibat berpisahnya ilmu dari filsafat. Meskipun dalam perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas diantara masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman manusia yang luas. Ol;eh karena itu filsafat merupakan suatu bagian dari proses pendidikan secara alami dari makhluk yang berfikir.
      Setiap ilmu memiliki konsep-konsep dan asumsi-asimsi yang bagi ilmu itu sendiri tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep dan ilmu itu diterima dengan begitu saja tanpa dinilai dan dikritik. Terhadap ilmu-ilmu khusus, filsafat, khususnya filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep-konsep dasardan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu-ilmuuntuk memperoleh arti dan validitasnya. Kalau konsep-konsep dari ilmu tidak dijelaskan dan asumsi-asumsi tidak dikuatkan maka hasil-hasil yang dicapai lmu tersebut tanpa memperoleh landasan yang kuat.
      Interaksi antara filsafat dan ilmu-ilmu khusus juga maenyangkut suatu tujuan yang lebih jauh dari filsafat. Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus Ke dalam suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang tersatupadukan, komprehensif ndan konsisten. Secara komprehensif artinya tidak ada sesuatu bidang yang berada di luar jangkauan filsafat. Secara konsisten artinya uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi. Misalnya fisika mendasarkan pada asas bahwa semua benda terikat pada kaidah mekanis (sebab-akibat), akan teapi dalam biologi dapat ditemukan bahwa pada organisme yang lebih tinggi tidak hanya berproses seperti mesin-mesin melainkan juga menunjukan adanya kegiatan yang mengarah pada suatu tujuan (teleologis). Masalah teleologis (bertujuan) ini telah ditangani oleh para filsuf yang mencoba menyusun pandangan yang tersatupadukan (integral) dan komprehensif dalam menjelaskan gejala-gejala alam.

FILSAFAT ISLAM
      Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:
  1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
  2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua:
  • (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba.
  • (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
  • i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
  • ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
  • iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
  • iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
  • v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
     3.  Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
      Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
      Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.
      Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali. Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat. Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada.
      Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum alam. Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam. Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu:
  1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
  2. Pembangkitan jasmani tak ada
  3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
      Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan. Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya.
      Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang percaya bahwa alam ini qadim. Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?. Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.
      Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf.
      Dalam pada itu sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari. Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak tradisional.
Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal:
  1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis.
  2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya.
      Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis. 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam.
Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan. Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf Islam.





DAFTAR PUSTAKA


Beerling, Kwee dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogjakarta: Tiara Wacana, 2003, (cetakan kelima)
Verhaak, dan Imam, Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT Gramedia, 1989.
Mundiri, Logika, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Widodo, Sembodo Ardi, Kajian Filosofis (Pendidikan Barat dan Islam), Jakarta: Nimas Multima, 2008, (cetakan ketiga)
Behbehani, Soraya Susan, Ada Nabi dalam Diri, Jakarta: Serambi, 2003, (cetakan kedua)

0 komentar:

Posting Komentar

Suara Anda, Menjadi Sepercik Saran Bagi Kami

Followers

About Me

Foto Saya
Ahmad Ulin Na'im
wedarijaksa, pati, Indonesia
Halo.... yang di sana jangan bengong aja yaa....
Lihat profil lengkapku

Links

Status YM

Cari di blog ini

Cuap-Cuap

Tamu